Kata sahibul hikayat, sampai umur 60 tahun, Nabi Ayub hidup diliputi oleh nikmat Tuhan di dalam suatu rumah tangga yang bahagia bersama istri yang setia dan anak-anak yang mencintainya. Tiba-tiba beliau ditimpa malapetaka; rumah dihanyutkan banjir, anak-anak meninggal di waktu muda, dan dirinya ditimpa penyakit.
Setelah beberapa bulan menderita yang demikian itu, istrinya berkata kepadanya, "Engkau seorang nabi dan doamu dikabulkan Tuhan. Sudah begini penderitaanmu, belum jugakah engkau hendak memohon kepada Ilahi agar dilepaskan dari bala bencana?"
Dengan senyum tenang Nabi Ayub menjawab, "Saya malu mengangkat mukaku agar dilepaskan dari pada bencana yang belum lama saya tanggungkan ini. Sebab saya tidak pernah lupa berpuluh tahun lamanya saya menerima nikmat-Nya."
Kita semua pasti penah merasakan suka dan duka. Padahal kedua-duanya mengandung nilai yang berujung pada kebaikan. Akan tetapi, tak dipungkiri. Sangat sulit bagi kita untuk bersyukur saat mendapat nikmat dan bersabar saat mendapat cobaan. Padahal kedua-duanya merupakan ujian bagi manusia.
Ibnu al-Jauzi berkata, "Ketika kepayahan terlewati, kebahagiaan akan mengabadi. Sebaliknya, ketika kebahagiaan terlewati, penyesalan yang akan mengabadi."
Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, "Seorang penduduk neraka yang ketika di dunia paling berlimpah kenikmatan, didatangi malaikat. Setelah dicelupkan satu kali ke dalam api neraka, ia lalu ditanya, "Wahai anak adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan? Apakah kamu pernah merasakan kebahagiaan? Ia menjawab, "Demi Allah, tidak, wahai Tuhanku.'
"Kemudian, seorang penduduk surga, yang ketika di dunia hidupnya paling sengsara, juga didatangi malaikat. Setelah dimasukkan satu kali ke dalam surga, ia lalu ditanya, 'Wahai anak adam, apakah kamu pernah melihat kesengsaraan? Apakah kamu pernah merasakan penderitaan? ia menjawab, 'Demi Allah, tidak pernah, aku tidak pernah merasakan kesengsaraan, tidak pula melihat penderitaan."
Kebanyakan dari kita menganggap bahwa musibah adalah masalah dan kenikmatan bukan masalah. Padahal secara esensial, keduanya memiliki tantangan yang harus dijawab. Saat kita mendapat nikmat, kita harus bisa menjawab tantangannya. Bersykurkah atau kufur?
Kisah Nabi Ayub di atas menunjukan betapa ia sangat sabar menghadapi ujian yang sangat berat. Dan sebelumnya, beliau selama 60 tahun hidup dalam kenikmatan. Hal ini menunjukan bahwa kebahagiaan dan kesengsaran merupakan dua hal yang selalu beriringan. Terkadang memang kita bahagia, terkadang pula kita mendapat sengsara.
Motivasi yang bisa kita ambil dari kisah Nabi Ayub adalah bahwa saat beliau mendapatkan musibah, beliau sabar dengan mengingat bahwa beliau pernah merasa bahagia. Sehingga beliau malu mengangkat muka beliau agar dilepaskan dari pada bencana yang belum lama beliau tanggungkan, sebab beliau berpuluh-puluh tahu merasakan kenikmatan dari Allah.
Kenapa kita bersedih terlalu dalam, padahal musibah kita tak sebesar Nabi Ayub. Teruslah ketuk pintu langit, panjatkan doa terus menerus kepada-Nya. Agar musibah, derita yang kau alami segera diganti dengan kebahagiaan. Jangan lupa berdoa juga agar saat kau bahagia tak lupa untuk bersyukur.
Setelah beberapa bulan menderita yang demikian itu, istrinya berkata kepadanya, "Engkau seorang nabi dan doamu dikabulkan Tuhan. Sudah begini penderitaanmu, belum jugakah engkau hendak memohon kepada Ilahi agar dilepaskan dari bala bencana?"
Dengan senyum tenang Nabi Ayub menjawab, "Saya malu mengangkat mukaku agar dilepaskan dari pada bencana yang belum lama saya tanggungkan ini. Sebab saya tidak pernah lupa berpuluh tahun lamanya saya menerima nikmat-Nya."
Kita semua pasti penah merasakan suka dan duka. Padahal kedua-duanya mengandung nilai yang berujung pada kebaikan. Akan tetapi, tak dipungkiri. Sangat sulit bagi kita untuk bersyukur saat mendapat nikmat dan bersabar saat mendapat cobaan. Padahal kedua-duanya merupakan ujian bagi manusia.
Ibnu al-Jauzi berkata, "Ketika kepayahan terlewati, kebahagiaan akan mengabadi. Sebaliknya, ketika kebahagiaan terlewati, penyesalan yang akan mengabadi."
Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, "Seorang penduduk neraka yang ketika di dunia paling berlimpah kenikmatan, didatangi malaikat. Setelah dicelupkan satu kali ke dalam api neraka, ia lalu ditanya, "Wahai anak adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan? Apakah kamu pernah merasakan kebahagiaan? Ia menjawab, "Demi Allah, tidak, wahai Tuhanku.'
"Kemudian, seorang penduduk surga, yang ketika di dunia hidupnya paling sengsara, juga didatangi malaikat. Setelah dimasukkan satu kali ke dalam surga, ia lalu ditanya, 'Wahai anak adam, apakah kamu pernah melihat kesengsaraan? Apakah kamu pernah merasakan penderitaan? ia menjawab, 'Demi Allah, tidak pernah, aku tidak pernah merasakan kesengsaraan, tidak pula melihat penderitaan."
Kebanyakan dari kita menganggap bahwa musibah adalah masalah dan kenikmatan bukan masalah. Padahal secara esensial, keduanya memiliki tantangan yang harus dijawab. Saat kita mendapat nikmat, kita harus bisa menjawab tantangannya. Bersykurkah atau kufur?
Kisah Nabi Ayub di atas menunjukan betapa ia sangat sabar menghadapi ujian yang sangat berat. Dan sebelumnya, beliau selama 60 tahun hidup dalam kenikmatan. Hal ini menunjukan bahwa kebahagiaan dan kesengsaran merupakan dua hal yang selalu beriringan. Terkadang memang kita bahagia, terkadang pula kita mendapat sengsara.
Motivasi yang bisa kita ambil dari kisah Nabi Ayub adalah bahwa saat beliau mendapatkan musibah, beliau sabar dengan mengingat bahwa beliau pernah merasa bahagia. Sehingga beliau malu mengangkat muka beliau agar dilepaskan dari pada bencana yang belum lama beliau tanggungkan, sebab beliau berpuluh-puluh tahu merasakan kenikmatan dari Allah.
Kenapa kita bersedih terlalu dalam, padahal musibah kita tak sebesar Nabi Ayub. Teruslah ketuk pintu langit, panjatkan doa terus menerus kepada-Nya. Agar musibah, derita yang kau alami segera diganti dengan kebahagiaan. Jangan lupa berdoa juga agar saat kau bahagia tak lupa untuk bersyukur.