Hukum ilmu tajwid

Hukum ilmu tajwid

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya, “apakah seorang Muslim boleh membaca Al Qur’an tanpa berpegangan pada kaidah-kaidah tajwid?”. Beliau menjawab:

نعم يجوز ذلك إذا لم يلحن فيه فإن لحن فيه فالواجب عليه تعديل اللحن وأما التجويد فليس بواجب التجويد تحسين للفظ فقط وتحسين اللفظ بالقرآن لا شك أنه خير وأنه أتم في حسن القراءة لكن الوجوب بحيث نقول من لم يقرأ القرآن بالتجويد فهو آثم قول لا دليل عليه بل الدليل على خلافه بل إن القرآن نزل على سبعة أحرف حتى كان كل من الناس يقرؤه بلغته إلا أنه بعد أن خيف النزاع والشقاق بين المسلمين وحد المسلمون في القراءة على لغة قريش في زمن أمير المؤمنين عثمان بن عفان رضي الله عنه وهذا من فضائله ومناقبه وحسن رعايته في خلافته أن جمع الناس على حرف واحد لئلا يحصل النزاع والخلاصة أن القراءة بالتجويد ليست بواجبة وإنما الواجب إقامة الحركات والنطق بالحروف على ما هي عليه فلا يبدل الراء لاما مثلا ولا الذال زاياً وما أشبه ذلك هذا هو الممنوع

“Ya, itu  dibolehkan. Selama tidak terjadi lahn (kesalahan bacaan) di dalamnya. Jika terjadi lahn maka wajib untuk memperbaik lahn-nya tersebut. Adapun tajwid, hukumnya tidak wajib. Tajwid itu untuk memperbagus pelafalan saja, dan untuk memperbagus bacaan Al Qur’an. Tidak diragukan bahwa tajwid itu baik, dan lebih sempurna dalam membaca Al Qur’an. Namun kalau kita katakan ‘barangsiapa yang tidak membaca Al Qur’an dengan tajwid maka berdosa‘ ini adalah perkataan yang tidak ada dalilnya. Bahkan dalil-dalil menunjukkan hal yang berseberangan dengan itu.



Yaitu bahwasanya Al Qur’an diturunkan dalam 7 huruf, hingga setiap manusia membacanya dengan gaya bahasa mereka sendiri. Sampai suatu ketika, dikhawatirkan terjadi perselisihan dan persengketaan di antara kaum Muslimin, maka disatukanlah kaum Muslimin dalam satu qira’ah dengan gaya bahasa Qura’isy di zaman Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu’anhu. Dan ini merupakan salah satu keutamaan beliau (Utsman), dan jasa beliau, serta bukti perhatian besar beliau dalam masa kekhalifahannya untuk mempersatukan umat dalam satu qira’ah. Agar tidak terjadi perselisihan di tengah umat.

Kesimpulannya, membaca Al Qur’an dengan tajwid tidaklah wajib. Yang wajib adalah membaca harakat dan mengucapkan huruf sesuai yang sebagaimana mestinya. Misalnya, tidak mengganti huruf ra’ (ر) dengan lam (ل), atau huruf dzal (ذ) diganti zay (ز), atau semisal itu yang merupakan perkara yang terlarang”. (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 5/2, Asy Syamilah).

Dengan demikian, apa yang disebutkan sebagian ulama qiraat, bahwa wajib membaca Al Qur’an dengan tajwid, yaitu semisal wajib membaca dengan ikhfa, idgham, izhar dan lainnya, adalah hal yang kurang tepat dan membutuhkan dalil syar’i untuk mewajibkannya. Yang tepat adalah, ilmu tajwid wajib dalam kadar yang bisa menghindari seseorang dari kesalahan makna dalam bacaannya. Terdapat penjelasan yang bagus dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah :

ذَهَبَ الْمُتَأَخِّرُونَ إِلَى التَّفْصِيل بَيْنَ مَا هُوَ (وَاجِبٌ شَرْعِيٌّ) مِنْ مَسَائِل التَّجْوِيدِ، وَهُوَ مَا يُؤَدِّي تَرْكُهُ إِلَى تَغْيِيرِ الْمَبْنَى أَوْ فَسَادِ الْمَعْنَى، وَبَيْنَ مَا هُوَ (وَاجِبٌ صِنَاعِيٌّ) أَيْ أَوْجَبَهُ أَهْل ذَلِكَ الْعِلْمِ لِتَمَامِ إِتْقَانِ الْقِرَاءَةِ، وَهُوَ مَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ فِي كُتُبِ التَّجْوِيدِ مِنْ مَسَائِل لَيْسَتْ كَذَلِكَ، كَالإِْدْغَامِ وَالإِْخْفَاءِ إِلَخْ. فَهَذَا النَّوْعُ لاَ يَأْثَمُ تَارِكُهُ عِنْدَهُمْ.
قَال الشَّيْخُ عَلِيٌّ الْقَارِيُّ بَعْدَ بَيَانِهِ أَنَّ مَخَارِجَ الْحُرُوفِ وَصِفَاتِهَا، وَمُتَعَلِّقَاتِهَا مُعْتَبَرَةٌ فِي لُغَةِ الْعَرَبِ: فَيَنْبَغِي أَنْ تُرَاعَى جَمِيعُ قَوَاعِدِهِمْ وُجُوبًا فِيمَا يَتَغَيَّرُ بِهِ الْمَبْنَى وَيَفْسُدُ الْمَعْنَى، وَاسْتِحْبَابًا فِيمَا يَحْسُنُ بِهِ اللَّفْظُ وَيُسْتَحْسَنُ بِهِ النُّطْقُ حَال الأَْدَاءِ

“para ulama muta’akhirin merinci antara wajib syar’i dengan wajib shina’i dalam masalah tajwid. Wajib syar’i (kewajiban yang dituntut oleh syariat) adalah yang jika meninggalkannya dapat menjerumuskan pada perubahan struktur kalimat atau makna yang rusak. Dan wajib shina’i adalah hal-hal yang diwajibkan para ulama qiraat untuk menyempurnakan kebagusan bacaan.

Maka apa yang disebutkan pada ulama qiraat dalam kitab-kitab ilmu tajwid mengenai wajibnya berbagai hukum tajwid, bukanlah demikian memahaminya. Seperti idgham, ikhfa’, dan seterusnya, ini adalah hal-hal yang tidak berdosa jika meninggalkannya menurut mereka.

Asy Syaikh Ali Al Qari setelah beliau menjelaskan bahwa makharijul huruf berserta sifat-sifat dan hal-hal yang terkait dengannya itu adalah hal yang berpengaruh dalam bahasa arab, beliau berkata: ‘hendaknya setiap orang memperhatikan semua kaidah-kaidah makharijul huruf ini. Wajib hukumnya dalam kadar yang bisa menyebabkan perubahan struktur kalimat dan kerusakan makna. Sunnah hukumnya dalam kadar yang bisa memperbagus pelafalan dan pengucapan ketika membacanya'” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 10/179).

Maka tidak benar sikap sebagian orang yang menyalahkan bacaan Al Qur’an dari orang-orang yang belum pernah mendapatkan pelajaran tajwid yang mendalam, padahal bacaan mereka masih dalam kadar yang sudah memenuhi kadar wajib, yaitu tidak rusak makna dan susunan katanya. Bahkan sebagian orang ada yang merasa tidak sah shalat di belakang imam yang tidak membaca dengan tajwid. Dan ada pula sebagian pengajar tajwid yang menganggap tidak sah bacaan Al Qur’an setiap orang yang tidak menerapkan semua kaidah-kaidah tajwid dengan sempurna. Ini adalah sikap-sikap yang kurang bijak yang disebabkan oleh kurangnya ilmu. Wallahul musta’an.