Bagaimana hukumnya memakai ungkapan, "Demi Sayyidina Muhammad" demi Ibuku, demi Ayahku demi langit dan bumi.
Dan bahkan ada banyak sekali hadis yang menjelaskan tentang haram bersumpah dengan menyebut nama selain Allah bahkan ada hadis yang menyatakan itu syirik !
Penjelasan.. ITU MAKNA HADIS SECARA DHAHIR YA SEPERTI ITU.
Bahasa Ayat dan bahasa hadis itu ada makna umum ke khusus dan ada makna khusus ke umum tergantung matannya. Panjang sekali jika kita menjelaskannya
Ketika Islam datang, para penduduk jahiliyah bersumpah dengan berhala-berhala mereka dengan maksud beribadah dan mengagungkannya dengan pengagungan yang serupa dengan pengagungan kepada Allah. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah dalam Alquran,
"Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah." (Al-Baqarah: 165).
Karena itulah, Nabi saw. melarang perbuatan tersebut guna menjaga kemurnian tauhid. Beliau bersabda,
مَنْ حَلَفَ فَقَالَ فِيْ حَلِفِهِ "وَاللاَّتِ وَالْعُزَّى" فَلْيَقُلْ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
"Barang siapa yang bersumpah dan dalam sumpahnya dia mengatakan, "Demi Latta, demi Uzza," maka hendaknya dia mengucapkan, "Laa ilaaha illallah" (tiada tuhan selain Allah)." (Muttafaq alaih dari hadis Abu Hurairah r.a.).
Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
"Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah kafir atau berbuat syirik." (HR. Tirmidzi. Hadis ini dihasankan oleh Ibnu Hibban dan Hakim).
Maksudnya adalah bahwa orang itu telah mengucapkan suatu perkataan yang menyebabkannya menyerupai orang-orang musyrik, bukan orang itu telah keluar dari agama Islam dan menjadi musyrik.
Para ulama sepakat bahwa orang yang bersumpah dengan selain Allah tidaklah menjadi kafir kecuali jika dia mengagungkan sesuatu yang dijadikan dasar sumpahnya itu sebagaimana dia mengagungkan Allah. Sehingga, kekafirannya itu disebabkan pengagungannya tersebut terhadap benda itu bukan disebabkan karena sumpahnya.
Nabi saw. juga telah melarang untuk menyerupai orang-orang jahiliyah yang bersumpah dengan nama nenek moyang mereka dengan maksud membangga-banggakan dan mengultuskan mereka serta mengedepankan nasab mereka daripada ikatan ukhuwah islamiyah. Mereka menjadikan nenek moyang mereka sebagai pijakan loyalitas dan permusuhan terhadap orang lain. Mengenai hal ini, Rasulullah saw. bersabda,
أَلاَ إِنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوْا بِآبَائِكُمْ، فَمَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ وَإِلاَّ فَلْيَصْمُتْ
"Ketahuilah bahwa Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan nama nenek moyang kalian. Maka, barang siapa yang bersumpah hendaklah dia bersumpah dengan nama Allah, jika tidak maka sebaiknya dia diam saja." (Muttafaq alaih dari hadis Ibnu Umar).
Alasan hukum ('illat) masalah ini dijelaskan dalam hadis lain,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَفْتَخِرُوْنَ بِآبَائِهِمُ الَّذِينَ مَاتُوا إِنَّمَا هُمْ فَحْمُ جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الْجُعَلِ الَّذِي يُدَهْدِهُ الْخِرَاءَ بِأَنْفِهِ، إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ، إِنَّمَا هُوَ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ، النَّاسُ كُلُّهُمْ بَنُو آدَمَ وَآدَمُ خُلِقَ مِنْ تُرَابٍ
"Hendaklah orang-orang berhenti membangga-banggakan nenek moyang mereka yang telah mati, karena mereka hanyalah arang Jahannam. Jika tidak maka mereka lebih hina bagi Allah daripada kumbang yang mengorek-ngorek kotoran dengan hidungnya. Sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan jahiliyah dari kalian. Sesungguhnya manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu orang mukmin yang bertakwa dan orang jahat yang celaka. Manusia adalah anak Adam dan Adam diciptakan dari tanah." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Hurairah. Hadis ini dihasankan oleh Tirmidzi).
Sebagaimana pula firman Allah,
"Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu." (Al-Baqarah: 200).
Para ahli tafsir menyatakan bahwa dahulu pada zaman jahiliyah, ketika musim haji setiap orang berdiri sambil mengatakan, "Dahulu ayahku memberi makan kepada orang-orang dan membantu mengangkutkan barang." Mereka senantiasa hanya menyebut-nyebut perbuatan-perbuatan nenek moyang mereka.
Adapun bersumpah dengan memakai nama sesuatu yang diagungkan dalam agama, seperti Nabi saw. dan Ka'bah, maka sama sekali tidak serupa dengan sumpah kaum musyrikin.
Para ulama yang melarang bersumpah dengan hal-hal yang dimuliakan dalam agama, mengambil makna zahir dari nas-nas yang melarang bersumpah dengan selain Allah. Sedangkan para ulama yang membolehkannya, memberi alasan bahwa hal itu tidak menyerupai pengagungan terhadap Allah, karena pengagungan terhadap mereka bersumber dari pemuliaan Allah terhadap mereka. Di antara para ulama yang membolehkan bersumpah dengan Nabi saw. adalah Imam Ahmad yang menyatakan bahwa Nabi saw. adalah salah satu rukun syahadat yang tidak sah suatu syahadat kecuali dengannya.
Makna zahir dari larangan bersumpah dengan selain nama Allah jelas tidak dimaksudkan dalam nash itu, karena para ulama telah berijmak mengenai kebolehan bersumpah dengan sifat-sifat Allah. Dengan demikian, kata-kata itu adalah kata-kata umum tapi yang dimaksud darinya adalah makna khusus.
Ibnu Mundzir berkata, "Para ulama berbeda pendapat mengenai makna larangan dalam bersumpah dengan selain Allah. Sebagian ulama menyatakan bahwa hal itu berkaitan dengan sumpah-sumpah yang biasa dipakai oleh orang-orang jahiliyah sebagai bentuk pengagungan terhadap selain Allah, seperti Latta, Uzza dan nenek moyang mereka. Orang yang melakukan ini berdosa dan tidak ada kafarat bagi perbuatan itu.
Adapun perbuatan yang mengantarkan kepada pengagungan terhadap Allah, seperti ucapan, "Demi Nabi", "Demi Islam", "Demi ibadah haji", "Demi ibadah umrah", "Demi ibadah kurban", "Demi sedekah", "Demi pembebasan budak" dan lain sebagainya yang merupakan perbuatan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepada Allah, maka seluruh perbuatan itu tidak masuk dalam larangan tersebut. Di antara para ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Ubaid dan beberapa orang ulama yang pernah kami jumpai. Mereka menyandarkan pendapat mereka itu dengan pendapat para sahabat yang mewajibkan seseorang yang bersumpah dengan selain Allah untuk memerdekakan budak, menyembelih kurban atau bersedekah, meskipun para sahabat itu telah mendengar larangan bersumpah tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa larangan tersebut tidak dimaknai sesuai dengan keumuman lafalnya, karena seandainya lafal itu bersifat umum tentu mereka akan melarangnya dan tidak mewajibkan apapun atas orang yang bersumpah tersebut."
Adapun masalah mengharap orang lain untuk melakukan sesuatu atau memperkuat suatu perkataan dengan menyebut Nabi saw. atau hal-hal lainnya yang tidak diniatkan sebagai sumpah, maka tidak masuk dalam larangan di atas. Ucapan-ucapan itu dibolehkan karena hal itu pernah dilakukan Nabi saw. sendiri dan para sahabat.
Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah r.a. yang diriwayatkan oleh Muslim, disebutkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?" Beliau menjawab,
أَمَا وَأَبِيْكَ لَتُنَبَّأَنَّهْ، أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيْحٌ شَحِيْحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْبَقَاءَ
"Demi ayahmu, sungguh engkau akan diberitahu. Yaitu bersedekah dalam keadaan sehat dan kikir, ketika engkau takut miskin dan berharap tetap kaya."
Muslim juga meriwayatkan dalam kitab ash-Shahîh dari Thalhah bin Ubaidullah r.a. mengenai seorang lelaki dari Nejd yang bertanya kepada Nabi saw. mengenai Islam. Di akhir hadis itu disebutkan: "Rasulullah saw. bersabda,
أَفْلَحَ وَأَبِيْهِ إِنْ صَدَقَ، أَوْ: دَخَلَ الْجَنَّةَ وَأَبِيْهِ إِنْ صَدَقَ
"Demi ayahnya, dia akan beruntung jika dia berkata benar."
Atau dalam riwayat lain:
"Demi ayahnya, dia akan masuk surga jika dia berkata benar."
Dalam kitab as-Sunan, Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, "Seorang lelaki mendatangi Rasulullah saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, beritahulah saya tentang orang yang paling berhak mendapatkan baktiku." Beliau menjawab,
نَعَمْ وَأَبِيْكَ لَتُنَبَّأَنَّ؛ أُمُّكَ
"Ya. Demi ayahmu, kamu akan diberitahu, yaitu ibumu."
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu 'Usyra` dari ayahnya, dia berkata, "Saya berkata, "Wahai Rasulullah, bukankah menyembelih itu hanya pada tenggorokan dan pangkal leher?" Beliau bersabda,
وَأَبِيكَ لَوْ طَعَنْتَ فِي فَخِذِهَا لأَجْزَأَكَ
"Demi ayahmu, kalau kamu menikamnya di pahanya maka itu telah cukup."
Imam Ahmad juga meriwayatkan dalam al-Musnad bahwa Rasulullah saw. diberi makanan berupa roti dan daging. Beliau lalu berkata, "Berikan padaku bagian lengannya." Beliau lalu memakan daging bagian lengan yang diberikan kepada beliau. Beliau lalu berkata lagi, "Berikan padaku bagian lengannya." Lalu disodorkan lagi bagian lengannya dan beliau memakannya. Kemudian beliau berkata lagi, "Berikan padaku bagian lengannya." Seorang sahabat yang di dekat situ berkata, "Wahai Rasulullah, lengan binatang itu cuma ada dua." Maka Rasulullah saw. menjawab,
وَأَبِيْكَ لَوْ سَكَتَّ مَا زِلْتُ أُنَاوَلُ مِنْهَا ذِرَاعًا مَا دَعَوْتُ بِهِ
"Demi ayahmu, seandainya kamu diam niscaya aku akan terus mendapatkan bagian lengan sebanyak permintaanku."
Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwaththa` kisah Aftha` yang mencuri kalung milik Asma` bintu 'Umais r.a.. Dalam kisah itu Abu Bakar r.a. berkata, "Demi ayahmu, malam itu kau tidak nampak melakukan sesuatu seperti perbuatan seorang pencuri."
Asy-Syaikhani (Bukhari dan Muslim) meriwayatkan bahwa istri Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. berkata kepadanya, "Demi dambaan hatiku, makanan itu sekarang telah berlipat tiga kali dari sebelumnya." Maksudnya makanan yang disuguhkan kepada para tamunya. Dalam Syarh Muslim, Imam Nawawi berkata, "Ini bukan sumpah, tapi sebuah kalimat yang biasa disisipkan oleh bangsa Arab dalam pembicaraan mereka tanpa berniat sumpah sama sekali. Larangan dalam masalah ini adalah jika berniat mengucapkannya sebagai sumpah, sehingga di dalamnya terkandung maksud pengagungan sesuatu yang dijadikan sumpah dan penyerupaan terhadap hak Allah. Dan inilah jawaban yang dapat diterima."
Imam Baidhawi berkata, "Kata ini termasuk salah satu kata yang biasa disisipkan dalam pembicaraan sebagai penguat tanpa meniatkannya sebagai sumpah. Hal ini seperti penambahan kata panggilan untuk sekedar mengkhususkan (al-ikhtishâsh), bukan untuk memanggil."
Dengan demikian, penggunaan kalimat "Demi sayyidina Muhammad", "Demi Ahlul bait", atau yang lainnya dalam pembicaraan, dengan maksud memperkuat ucapan atau untuk mengharap sesuatu –tanpa bermaksud bersumpah— adalah sesuatu yang dibolehkan dan tidak apa-apa melakukannya. Karena, hal itu terdapat dalam perkataan Nabi saw. dan para sahabat serta menjadi kebiasaan masyarakat Arab yang tidak bertentangan dengan tuntunan syariat, sehingga perbuatan itu tidak haram dan bukan termasuk perbuatan syirik. Seorang muslim hendaknya tidak berkata mengenai syariat Allah tanpa ilmu sebagaimana ditegaskan dalam Alquran,
"Dan janganlah kamu mengaakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta." (An-Nahl: 116).
Seorang muslim yang berpikiran lurus tidak sepatutnya menuduh saudara seimannya dengan tuduhan kafir atau syirik yang menyebabkannya masuk dalam ancaman Rasulullah saw.,
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
"Jika seseorang mengkafirkan saudaranya, maka kekafiran itu kembali kepada salah satu dari keduanya." (HR. Muslim dari hadis Abdullah bin Umar r.a.).
kesimpulan :
Bersumpah dengan menyebut nama selain Allah itu tidak sah sumpahnya, dan tidak wajib membayar kafarat. Dan tidak mengapa selama tidak dimaksudkan sebagai pengagungan.
Bersumpah dengan menyebut nama selain Allah itu Haram dan Murtad, contoh :
Demi Latta dan Uzza, Demi Jesus, Demi dewa, Demi Tuhan Yahwe dan lain yang seumpama dengannya yang diagunggkan.
Perkataan demi Ibuku, demi ayahku, itu bukan termasuk perkataan sumpah seperti yang dimaksud dalam hukum syariat. itu sumpah ecek2.. orang berkata demi langit dan bumi selama tidak ada maksud langit dan bumi itu sebagai bentuk pengagungan ya tidak apa, dan itu tidak termasuk kalimat sumpah !
Demikian..
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam
wassalam :
Pesantren Tgk Syiek H di Garot Aceh.